Just another free Blogger theme

Politik

KOMENTAR ARTIKEL “CEASELESS ACTIVITY TO SEEK PEACE IN LIVING TOGETHER WITH OTHERS. CATHOLICS IN DIALOGUE WITH MUSLIMS”

    Paus Fransiskus disambut hangat Ulama Islam        Rm. Armada Riyanto menuliskan artikel dengan judul “ Ceaseless Activity to Seek Pea...

Senin, 21 November 2022

  

Paus Fransiskus disambut hangat Ulama Islam

       Rm. Armada Riyanto menuliskan artikel dengan judul “Ceaseless Activity to Seek Peace in Living Together with Others. Catholics in Dialogue  with Muslims.” Latar belakang tulisan tersebut merujuk pada Islam disalahartikan dengan kelompok radikal seperti Hamas, Jemaah Islamiyah, Taliban, Al-Qaeda, dan sejenisnya. Menurut Rm. Armada, kita tidak adil apabila memahami Islam dari perspektif keberadaan kelompok radikal atau fundamental tersebut. Dengan itu, kita perlu melakukan dialog untuk memahami kepercayaan atau teologi, sejarah, filsafat, sosiologi dan politik dalam Islam yang sesungguhnya.


       Rm. Armada memberikan 3 (tiga) pertanyaan untuk memulai dialog dengan Islam, yakni on why of dialogue with Islam, on what of Islam: understanding and misunderstanding, dan on how of dialogue with Islam. Jawaban dari pertanyaan tersebut memberikan pemahaman baru tentang Islam. Menurutnya, Islam berarti menyerahkan diri kepada Tuhan. Setiap orang yang menyerahkan diri kepada Tuhan disebut Islam. Karena itu, Rm. Armada mengakui bahwa orang kristen adalah muslim juga.


          Rm. Armada dalam tulisan ini mengajak pembaca untuk memahami Islam dengan dialog agar tidak menimbulkan persepsi yang negatif. Dialog sangat penting dalam mengenal makna dan peran dari agama Islam itu sendiri. Sebab dalam dialog, identitas agama Islam dinyatakan, dimodifikasi dan didefinisikan dalam interaksi sosial.


          Akan tetapi, ia tidak menjelaskan bagaimana Islam sebagai agama mayoritas memberikan pengakuan terhadap agama minoritas. Absennya pengakuan terhadap agama minoritas seringkali menciptakan konflik horintal dalam negari. Konflik horisontal yang sering terjadi seperti memonopoli jabatan politik, gugatan izin bangun Gereja, dan jihad di depan Gereja.


          Konflik horisontal membuat agama minoritas mengalami distorsi identitas, luka psikologi, dan bahkan mengalami kesengsaraan. Hal itu disebabkan karena pengakuan terhadap identitas agama sangat penting sebagai pemenuhan diri (self-fulfillment or self realization). Realisasi self-fulfillment berdampak pada tumbuhnya jiwa nasionalis, seperti empati, tanggung jawab dan toleransi.

Senin, 14 November 2022

Rm. Lintang sedang merayakan Misa Kudus bersama umat dibawa pohon

Kelender Liturgi Gereja Katolik menetapkan satu pekan dalam setiap tahun sebagai minggu panggilan sedunia. Pada minggu panggilan, Gereja memberikan kesempatan kepada kaum religius untuk melakukan aksi panggilan di tengah seluruh umat. Kaum religius diberikan tempat untuk memperkenalkan cara hidup dan karya menurut tuntutan konstitusi setiap keuskupan, ordo dan serikat atau kongregasi.

Untuk menanggapi hal itu, seminari tinggi SVD (Societas Verbi Devini) Surya Wacana-Malang mengadakan aksi panggilan secara virtual/online. Seminari SVD mengundang orang muda katolik (OMK) dari berbagai paroki yang dilayani imam-imam SVD Jawa untuk hadir dalam kegiatan ini. Salah satu imam alumnus Surya Wacana yang menjadi misionari di Afrika diundang untuk memberikan sharing misi.

Kegiatan aksi panggilan virtual dibuka dengan kata sambutan dari Rm. Raymundus I Made Sudhiarsa, sebagai rektor rumah seminari tinggi SVD Surya Wacana. Rm. Ray dalam sambutannya menegaskan bahwa SVD memberikan pendidikan kepada anak-anak muda untuk memiliki mental dalam melayani Gereja. Ia memberikan contoh imam-imam muda di Papua yang dengan gembira melayani umat meskipun secara geografis, budaya dan pendekatan terhadap umat sangat sulit.

Menjadi misionaris bukan membawa mental pribadi untuk dibaca orang lain. Misionaris harus menjadi orang yang siap untuk belajar budaya yang baru. Misionaris perlu memiliki prinsip demikian, “kirim dahulu kopermu, baru kemudian badanmu”, kata Rm. Ray.


Rm. Lintang bersama umat Mozambik

Rm. Agustinus Lintang, SVD sebagai imam misionaris di Mozambik, Afrika Tenggara melakukan sharing misi dengan judul “Dari Perkotaan Turun ke Sebuah Pohon”. Beliau mengambil judul tersebut berangkat dari latar belakangnya dari kota Surabaya yang bermisi ke kampung.

Rm. Lintang mengawali sharing misi dengan menceritakan sejarah panggilan hingga menjadi misionaris di Mozambik. Beliau mengatakan bahwa sejak kecil, dirinya sangat terlibat dalam kegiatan Gereja, seperti misdinar. Dia juga sering mendengarkan sharing misi dari para imam misionaris SVD di paroki Santo Paulus-Juanda Sidoarjo- Keuskupan Surabaya.

Beliau sangat kuat menjadi misionaris karena dipengaruhi oleh film The Mission, Black Panther, novel Silence (Shusaku Endo), dan Majalah National Geographic. Dari situlah Rm. Lintang ingin menjadi misionaris bagi masyarakat Wakanda dan ingin bekerja sama dengan rekan-rekan imam yang tidak sebahasa dan sebudaya.

Rm. Lintang juga menceritakan kesulitan-kesulitan pertama yang dihadapinya di tempat misi. Pertama, bahasa asing. Beliau harus menguasai bahasa portugis dan bahasa daerah. Bahasa portugis sebagai bahasa nasional Afrika Tenggara hanya untuk orang di kota dan bahasa daerah untuk berbicara dengan orang di kampung. Menurutnya, belajar bahasa daerah sangat sulit karena belajar autodidak dan gramatika yang rumit. Kedua, adaptasi makanan. Makanan utama orang Mozambik adalah sima (bubur jagung yang digiling) dan tidak ada nasi dan tempe. Ketiga, wabah malaria. Rm. Lintang sering terkena penyakit malaria yang membuat berat badan turun, tidur tidak nyaman, dan badan terasa pegal. Empat, liturgi yang sangat ekspresif. Bagi orang Mozambik, misa itu sukacita.

Rm. Lintang juga memberikan gambaran umum tentang masyarakat di Mozambik, tempat pelayanan sebagai imam. Populasi penduduk Mozamabik 31, 26 juta (2020) dengan populasi umat katolik terbesar, yakni 31 persen dari jumlah agama-agama lainnya. Akan tetapi, kehadiran umat katolik sebagai mayoritas tidak menjamin sebagai pembawa kesejahteraan bagi penduduk Mozambik. Gereja perlu menyelsaikan berbagai persoalan, seperti angka buta huruf yang tinggi, seks bebas (banyak penduduk yang kena HIV), gizi buruk, dan penduduk Mozambik masih trauma dengan perang saudara tahun 1976-1992.