Kondisi
politik Prancis sebelum revolusi tidak menampilkan suatu keindahan kecuali
kekacauan dalam Negara. Kekacauan itu bukan hanya menimbulkan kebobrokan moral,
tapi juga ekomomi masyarakat. Sistem politik yang dibangun menimbulkan kerugian
bagi rakyat. Rakyat menanggung beban berat yang sangat mengerikan karena
uangnya diperas oleh negara.
Motif
dasar dari pemerasan ialah untuk mencapai segala tujuan negara, tapi
kegunaannya menyimpang dari tujuan. Sebab dalam negara, pemerintah Prancis
tidak memiliki kekuasaan yang absolut. Pemerintah dikendalikan oleh kekuasaan
dari kalangan pemimpin Gereja, kaum bangsawan, dan bahkan parlemen sendiri.
Mereka yang menarik keuntungan banyak dari rakyat. Konsep tentang yang kudus
dan kesadaran keagamaan jauh lebih menarik untuk memeras rakyak dan mengurung
kekuasaan sejati dari pemerintah.
Perlakuan
tidak wajar mendorong Prancis melakukan revolusi. Rakyat ingin menetapkan suatu
konstitusi yang selaras dengan kesamaan hak setiap individu yang melahirkan
prinsip kebebasan subjek. Gema kebebasan subjek menjadi fajar hidup baru bagi
rakyat Prancis dan berpengaruh terhadap seluruh dunia yang dikuasai oleh
pemerintah feodal. Hegel sebagai filosof Jerman menilai bahwa kebebasan yang
sungguh-sungguh itu terjadi dalam revolusi Prancis. Karena rakyat Prancis bukan
hanya bebas dari tekanan batin dan rasa takut terhadap kekuasaan agama, tetapi
juga terjadi dalam struktur sosial. Prancis memegang motto fraternite, egalite, dan liberte setelah revolusi Prancis.
Dengan
itu, Hegel menjadikan Revolusi Prancis (tahun 1789-1799) sebagai sejarah dunia
karena ada unsur-unsur seperti hukum rasionalitas, pemerintah dan pengenalan
yang baik terhadap undang-undang dan konstitusi dalam negara. Tiga
unsur tersebut mampu membawa negara Prancis mencapai kebebasan setiap subjek
di dalamnya. Kebebasan setiap subjek meliputi kesadaran akan aktivitasnya dalam
negara dan tanpa dibatasi oleh suatu hukum tertentu.
Unsur
pertama, seperti hukum rasional bertumbuh dalam negara Prancis
untuk menghapuskan hukum feodal. Misalkan, masyarakat dibebaskan dari aturan
zakat dan iuran yang merupakan warisan hukum feodal. Masyarakat Prancis
diberikan kebebasan dalam hal perdagangan, bebas untuk berpendapat di muka umum
dan setia orang bisa bekerja sesuai dengan profesinya masing-masing tanpa ada
batasan.
Unsur
kedua, yang berwenang untuk memberikan akibat praktis pada
hukum dalam negara adalah pemerintah Prancis. Pemerintah menyadari akan
perannya dalam membantu kemerdekaan bangsa sebagai individualitas melawan
bangsa lain. Dia juga yang akan mengatur dan memberikan kemakmuran yang
sepenuhnya kepada masyarakat dalam negeri. Karena itu, kekuasaan agama terhadap
kehidupan masyarakat dikurangi dan disesuaikan dengan hukum negara. Agama
bergerak di bawah kekuasaan pemerintah.
Unsur
ketiga, pengenalan terhadap undang-undang dan konstitusi
dalam negara. Pemerintah Prancis menekankan unsur ketiga ini untuk memunculkan
suatu gerakan pemisahan yang jelas antara undang-undang dan konstitusi dengan agama.
Pemisahan ini penting agar tidak ada lagi agama negara yang tumbuh dalam
kehidupan masyarakat Prancis. Karena agama negara berakibat pada sikap
kefanatikan dan intoleransi terhadap agama lain. Agama negara perlu dihapus dari
kehidupan masyarakat Prancis demi mewujudkan kekuasaan negara lebih tinggi dari
kekuasaan agama. Kekuasaan agama tidak lebih tinggi, lebih suci dan lebih
makmur dari kehendak negara. Agama berada dalam ruang privat dan memberikan
kebebasan kepada setiap individu untuk menyembah Tuhannya dalam negara Prancis.
Penegasan
kebebasan diperkuat lagi dalam perjanjian Lisbon
Treaty pada tahun 2009. Perjanjian ini mengajak seluruh Eropa termasuk Prancis
membuka diri terhadap dunia yang termaktub dalam lima nilai: kebebasan,
demokrasi, persamaan hak, kemanusiaan, dan supremasi hukum. Lima nilai ini
dipromosikan ke dunia sesuai dengan peradaban Eropa yang peduli terhadap isu
kemanusiaan. Eropa tidak lagi berpegang pada prinsip generalisasi yang
membeda-bedakan setiap orang yang berada di luar Eropa. Mereka tidak lagi
mempersoalkan perbedaan agama, negara, budaya, suku, etnis dan sebagainya.
Eropa
termasuk Prancis memandang semua orang satu dan sama sebagai manusia yang
kedudukan haknya sama. Semua manusia merupakan citra Allah yang satu dan sama.
Dengan berpegang pada perjanjian Lisbon
Treaty 2009, semua negara Eropa terbuka untuk menerima para imigran dari
luar Eropa, termasuk negara Prancis. Negara Prancis membuka pintu bagi
pendatang dari Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia Tenggara. Yang sangat
menarik bahwa Prancis menerima 27.000 pengungsi Syria yang sudah ditolak di
beberapa negara lain.
Berpegang
pada prinsip kebebasan, Samuel Paty sebagai guru menggunakan contoh kasus
kebebasan berpendapat kepada murid-muridnya dari kartun Nabi Muhamad.
Penggunaan contoh kasus dengan memakai kartun Nabi Muhamad menuai penolakan
dari seorang remaja Prancis, asal Chechen, Rusia. Seorang remaja menganggap Samuel
Paty menghina agama Islam. Bentuk penolakan dari remaja tersebut dengan
memenggal kepala seorang guru SMP tersebut di pinggiran Prancis. Dua minggu
kemudia, tiga orang ditusuk dan dipenggal dengan alat tajam dalam Gereja Notre
Dame di kota Nice. Pelakunya Brahim, keturunan Tunisia. Penyebab dari peristiwa
di Gereja Notre Dame masih sama yakni kemarahan disulut oleh kartun Nabi
Muhamad.
Presiden
Prancis, Emmanuel Macron tidak diam terhadap kasus pembunuhan terhadap Paty dan
tiga orang yang ditusuk dalam Gereja Notre Dame. Dalam pidatonya, Presiden
Macron mengatakan kebebasan kita rayakan, kesetaraan kita jamin, dan
persaudaraan dijalani dengan sepenuhnya. Macron mengajak seluruh rakyat Prancis
untuk berpegang pada nilai kemanusian dan nilai-nilai universal. Penyataan
Macron tentu bertolak dari motto (fratelite,
egalite dan liberte) dalam Revolusi Prancis dan perjanjian Lisbon Treaty 2009 tentang keterbukaan
terhadap semua orang.
Sedangkan
yang disalahpahami mengenai isi pidato sebelum munculnya pemenggalan kepala
Paty pada tanggal 2 Oktober 2020. Judul pidato Presiden Macron adalah “Keawaman
dan Islam Mencerahkan atau Penuh Cahaya”. Dia mengajak rakyatnya untuk tidak
ditarik dalam perangkap jebakan betman dan hal-hal ekstrim yang akan
mengakibatkan stigmatisasi bagi semua muslim (musulman). Pernyataan Macron yang
tidak diterima oleh umat muslim adalah bahwa Islam adalah agama yang sedang
mengalami krisis. Oleh karena itu perlu ada upaya membangun pencerahan Islam.
Presiden
Macron mengatakan demikian karena pelaku yang pembunuhan terhadap Paty dan pembunuhan
di Gereja Notre Dame membunuh dengan alasan membela Islam. Mereka melakukan
tindakan kejahatan dengan alasan Nabi mereka dihina dengan kartun Nabi. Mereka
mengatakan bahwa dalam hukum Islam seperti di Timur Tengah, orang yang
mengambarkan Nabi seperti kartun pun akan dihukum mati.
Macron
menilai alasan ini menjadi krisis dalam Islam dan perlu ada pencerahan terhadap
Islam. Hukum Islam tidak bisa diterapkan pada semua negara terutama negara
sekuler seperti Prancis. Agama beserta hukumnya itu berada dalam ruang privat. Negara
Prancis itu menjadi negara yang menjunjung tinggi nilai kebebasan individu dan
setiap orang bebas mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk kritik yang rasional.
Namun
di media sosial juga muncul berbagai tuduhan bahwa Presiden Macron mengatakan
Islam sebagai agama bencana dan Macron sering menampakan kebencian kepada
Islam. Tuduhan terhadap Macron terjadi secara sepihak karena tanpa ada
konfirmasi dahulu terkait yang sebenarnya pernyataan dari Presiden Macron.
Bentuk
tanggapan atas pernyataan dari Presiden Prancis, di berbagai negara di Timur
Tengah seperti Kuwait, Turki, Palestina, Aljazair, Qatar, Mesir, Arab
Saudi melakukan boikot terhadap produk
Prancis. Pemboikotan terjadi sebagai bentuk penolakan terhadap pernyataan
Presiden Macron yang melukai umat muslim. Presiden Jokowi juga angkat suara
terhadap pidato dari Presiden Macron. Jokowi mengecam keras isi pidato dari
Macron karena dianggap bisa melukai umat muslim seluruh dunia. Tetapi
kekecamannya tidak berujung pada pemboikotan terhadap produk Prancis. Indonesia
tentu masih membutukan produk Prancis untuk menunjang kehidupan ekonomi rakyat
di tengah pandemi Covid-19.
Permenungan
Negara Prancis terbuka kepada semua
orang tanpa memandang agama, pendatang, suku, ras dan sebagainya. Semua orang
diajak untuk berpartisipasi dalam memberikan hak kebebasan untuk bersuara, semua
memiliki semangat publik dalam mengabdi kepada negara dan mengakui hak-hak
setiap orang termasuk hak kelompok minoritas. Sikap toleransi ini dibangun demi
mewujudkan nilai kemanusiaan sebagai nilai yang berdiri di atas segalanya.
Nilai kemanusiaan tidak bisa
direndahkan hanya karena alasan perbedaan keyakinan agama, suku, warna kulit
dan sebagainya. Apalagi tindakan pembunuhan terhadap sesama manusia hanya untuk
membela Tuhannya. Tuhan seperti apakah yang meminta untuk dibela dengan cara
membunuh? Tuhan tidak perlu dibela oleh manusia (Kata Gus Dur). Manusia hanya
bisa berpasrah dan melaksanakan segala kehendak Tuhan.
Perlu dipahami juga bahwa negara Prancis
itu berpengang pada prinsip tuan terhadap tuan sesama manusia. Artinya sikap
saling menghargai terhadap martabat manusia jauh lebih penting daripada membela
ajaran agama dengan mengorbankan kemanusian orang lain. Oleh karena itu,
Presiden Macron tidak salah apabila dia mengecam keras terhadap pelaku
pembunuhan terhadap Paty dan pembunuhan di Gereja Notre Dame.
Dengan mengedepankan nilai kemanusiaan,
Prancis memberikan kebebasan kepada semua orang untuk mengekspresikan dirinya.
Kebebasan bukan berarti bertindak sesuka hati. Dalam menggunakan kebebasan juga
diperhatikan tindakkan yang tidak melukai martabat sesama manusia. Kebebasan
dapat dipergunakan sejauh kebebesan itu dapat dipertanggungjawabkan secara etis
dan diterima oleh masyarakat umum.

0 comments:
Posting Komentar