Perkembangan media digital menjadi keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri di abad ke-21 sekarang. Dia layaknya seperti oksigen, tanpanya manusia bisa menjadi invisible. Pengguna media menciptakan jutaan ide dan kreatifitas untuk dinikmati banyak orang. Mereka memberikan beragam informasi yang secara cepat ke masyarakat melalui platform-platform yang sudah tersedia.
Bahkan Paus Fransiskus pernah berkata; Media digital adalah sesuatu yang sungguh baik, dan hadiah dari Tuhan. Marilah kita berani menjadi warga dunia. Biarkan komunikasi kita menjadi balsem yang mengurangi rasa sakit. Paus Fransiskus memberi penilain yang positif terhadap perkembangan berbagai media digital. Dia menjadikan media digital sebagai obat yang bisa menyembuhkan penyakit bagi umat yang merasa kehilangan eksistensi. Melalui media digital, kita menemukan jawaban terhadap pertanyaan yang menjadi kegalauan dalam diri.
Namun, tidak sedikit pengguna media digital yang menciptakan beragam kasus dan ada juga yang berujung dipolisikan. Mulai dari youtubers, selegram hingga tik-tokers seringkali menjadi objek amarah netizen. Yang menjadi keanehannya adalah kasus yang dilakukan setiap hari selalu sama, yakni ujaran kebencian terhadap sesama. Seperti seorang wanita yang melakukan ujaran kebencian terhadap seorang penyanyi bernama Betrand Peto Putra Onsu. Dia melecehkan Betrand di media digital dengan menyebut Betrand sebagai anak pungut. Kejadian seperti ini terus berulang dan bukan hanya kepada Betrand, Presiden pun seringkali dihina seperti dengan kata kecebong, dunggu dan sebagainya.
Lalu kenapa kejadian ini terus berulang? Sepertinya apresiasi melalui media digital menjadi goals yang menggiurkan banyak orang. Pengguna media digital tidak peduli dengan informasi yang diberikannya baik atau buruk, melainkan hanya peduli dengan keberadaannya di media diketahui banyak orang. Dia hanya mencari seberapa viewrs, likes dan followers terhadapa argumen yang dilontarkan lewat media digital. Apresiasi terhadap dirinya bukan dinilai dari motivasinya melainkan sensasi yang mencuri perhatian masyarakat. Akibatnya sensasi terasa sebagai suatu prestasi bagi disebagian pengguna media digital.
Persoalan di atas sesungguhnya terjadi akibat keterbatasan literasi digital di kalangan pengguna media. Keterbatasan literasi menjadikan pengguna media latah di ruang yang tidak terbatas itu. Mereka tidak berpikir bahwa setiap goyangan jempol membutuhkan pertanggung jawaban. Microsoft sebagai raksasa teknologi terbesar di dunia telah membuktikan keterbatasan literasi itu melalui survey terhadap pengguna media digital di Asia Tenggara. Hasil survey menemukan bahwa warganet Indonesia merupakan pengguna internet paling tidak sopan di Asia Tenggara. Bahkan warganet Indonesia berada di posisi 29 dari 32 negara yang telah disurvey oleh Microsoft. Warganet Indonesia hanya lebih unggul dari warganet Meksiko dan Rusia untuk ukuran dunia.
Hasil survey Microsoft ini mengambarkan bahwa warganet Indonesia hidup dalam realitas yang cukup seram. Kita belum terlalu bijak dan punya daya filter yang kritis dalam menggunakan media digital. Kita terlalu terpesona dengan mengejar sensasi yang membuat diri tengelam dan hanyut dalam arus perkembangan zaman. Daya etika, moral dan iman sepertinya diabaikan dalam diri warganet Indonesia. Hal itu terbukti dari hasil survey Microsoft yang menilai tiga risiko online terbesar warganet Indonesia, yakni berita bohong (hoaks) dan scams, ujaran kebencian dan diskriminasi.
Keterbatasan literasi digital menunjukkan bahwa warganet Indonesia tidak menampilkan eksistensinya dalam media digital. Mereka tidak mampu menjadi aktor bagi hidupnya sendiri yang bereksistensi. Mereka hidup menurut pola mekanis dan mengejar sensasi, bukan berdasarkan pilihan-pilihan secara personal dan subyektif. Sehingga, warganet Indonesia seringkali menjadi pribadi yang hanyut dalam kerumunan, tidak aktif mengarahkan hidupnya sendiri menuju kebenaran atau sesuatu yang baik. Mereka tidak menampilkan pribadi yang autentik dalam media digital.
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) adalah filsuf pertama yang memperkenalkan istilah eksistensi menurut pengertian yang dipakai di zaman sekarang. Kierkegaard mengandaikan eksistensi manusia sebagai aktor kehidupan yang berani mengambil keputusan dasariah bagi arah hidupnya sendiri. Untuk menjelaskan maksud kata eksistensi, dia memberikan sebuah ilustrasi. Dia mengatakan ada dua orang kusir mengendarai keretanya masing-masing. Kusir pertama memegang kendali kuda-kudanya sambil tertidur, sementara kuda-kudanya bergerak ke arah yang keliru. Kusir kedua dengan sadar mengendalikan kuda-kudanya kearah yang benar. Bagi Kierdegaard, keduanya bisa disebut kusir, tetapi hanya kusir kedualah yang benar-benar kusir. Kusir kedua memiliki eksistensi karena mampu mengarahkan kuda-kudanya ke jalur yang benar.
Warganet Indonesia mestinya menjadi kusir kedua, yang tetap menyadari sebagai pribadi yang bereksistensi dalam media digital. Mereka memiliki kesadaran dalam mengunggah dan memberi komentar di media digital. Mereka tidak kehilangan kesadaran hanya ingin mengejar sensasi. Oleh karena itu, marilah berekspresi yang benar demi menikmati apresiasi dan bukan hujatan. Serta ingatlah selalu bahwa siapapun boleh bercanda dalam ruang yang tidak terbatas itu. Karena dunia media digital tidak sekaku kuku tangan atau kaki. Hanya warganet tetap ingat bahwa ada tempat dan waktu yang menjadi batasan dalam bersosialisasi di media digital. Dengan mengetahui batas dan ukuran, warganet tetap menjadi pribadi yang memiliki eksistensi seperti yang dimaksudkan oleh Kierkegaard.
Paus Benediktus XVI yang dianggap pribadi yang suci pun mendukung umatnya untuk terlibat dalam media digital. Media digital bisa menjadi tempat bagi orang Katolik untuk menunjukkan eksistensinya sebagai laskar Kristus. Akan tetapi, Paus mengingatkan bahwa umat Katolik tidak hadir saja, tidak hanya sekedar ada di media digital, tetapi hadir dalam media digital sebagai saksi-saksi Injil yang setia, bisa menghadirkan suara-suara yang berbeda dari yang disediakan oleh pasar atau bisnis dunia digital. Orang Katolik menjadi pewarta yang benar sesuai dengan jati dirinya sebagai pengikuti Kristus.
Peran Pemerintah
Demi menekan warganet terkena kasus pidana, Kepolisian Republik Indonesia juga menerapkan polisi virtual di media digital. Polisi virtual mempunyai kewajiban untuk memberikan teguran kepada warganet yang diduga melanggar UU ITE. Tegurannya berupan pesan melalui whatsapp atau media lainnya yang berupa edukasi dan peringatan. Saya merasa ini suatu langkah yang baik untuk memastikan bahwa warganet Indonesia tidak mengunggah konten yang bermuatan pidana. Warganet bisa memahami batasan-batasan yang tidak terjebak dalam pidana dalam memanfaatkan media digital.
Selain pengawasan dari polisi virtual, tindakan praktis yang dilakukan adalah membaca ketentuan (terms) platform. Banyak orang hanya menggunakan platform tertentu tanpa mempelajari terlebih dahulu ketentuannya. Hal ini yang kemudian semakin me-mayakan batasan interaksi sosial dalam media. Pada hal kehadiran aturan yang disertai dengan pemahaman setidaknya dapat memperjelas garis demarkasi dalam interaksi lewat media. Dengan memperhatikan aturan setiap platform, kita tetap berpulang pada kesadaran pribadi. Seperti pepatah lama yang mengatakan; Diri sendirilah tempat pulangnya suatu tindakan. Berani berbuat, berani pula bertanggung jawab.
Kehadiran polisi virtual mendapat penolakkan dari pegiat hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar. Dia menilai polisi virtual berisiko melanggar ranah privasi masyarakat. Namun, pihak kepolisian tetap menerapkan polisi virtual demi warganet tidak terperangkap dalam komunikasi vulgar. Mengenai melanggar ranah privasi masyarakat, polisi pun dapat dikenakan pidana apabila membongkar privasi masyarakat. Semua ketentuan tersebut sudah diatur dalam undang-undang.



Proficiat Frater semoga byk yang mampir utk membaca tulisan ini
BalasHapus