📷Br. Virgilius Susu
Kedewasaan
berpolitik selalu berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia. Semakin baik
kualitas sumber daya manusia, semakin terbuka untuk menyebarluaskan dan
mempraktikan gagasan yang benar di hadapan publik.
Sejak
munculnya Orde Baru hingga proses konsolidasi demokrasi pasca reformasi pada
tahun 1998, politik menjadi sebuah pergumulan yang luar biasa dalam kehidupan
negara kita. Politik bukan lagi menjadi sebuah strategi yang tepat untuk
mewujudkan kedamaian dalam menghadapi musuh seperti kolonisme dan komunisme. Politik
justru menjadi alat untuk memobilisasi kekuatan dari para penguasa terhadap
rakyat kecil.
Para
penguasa mengutamakan kepentingan diri dan kelompok di atas kepentingan
bersama. Di setiap lembaga politik selalu ditempati oleh genus yang
sama. Yang bukan satu genus sepertinya tidak berada dalam posisi sebagai
penguasa. Selanjutnya, ada pemaksaan kehendak kepada rakyat untuk selalu menanggapi
secara positif setiap keputusan politik. Rakyat tidak diberikan kesempatan
untuk secara kritis menanggapi kebijakan para penguasa.
Dengan
demikian, kehidupan yang terbentuk dalam negara secara alamiah ialah terpolarisasi
antara yang kuat dengan yang lemah. Penguasa tetap berdiri di atas pundak rakyat
yang lemah dan rakyat yang lemah menjadi pengabdi bagi kepentingan penguasa. Situasi
demikian berakhir oleh munculnya aksi demonstrasi mahasiswa tahun 1998.
Di
bawah payung pergerakkan reformasi, politik di negara kita memasuki suasana
baru yang lebih terbuka terhadap publik. Negara Indonesia bukan lagi suatu
negara untuk para penguasa atau untuk golongan tertentu, melainkan negara yang
didirikan untuk semua kepentingan rakyat Indonesia. Semua rakyat diberikan kebebasan
untuk menampilkan diri sebagai peserta aktif dalam politik. Undang-Undang
memberikan kebebasan kepada publik untuk mengungkapkan pendapatnya, lalu
bertanggung jawab terhadap pendapat itu.
Suara
rakyat Indonesia selalu diperhitungkan dan didengarkan oleh pemerintah.
Kehidupan bangsa tidak lagi terpolarisasi antara yang kuat dan lemah (situasi
tuan dan hamba), melainkan semua orang mendapat hak dan kesempatan yang sama.
Rakyak bebas menyampaikan pendapat berupa kritikan dan saran kepada pemerintah.
Politik
mengubah wajahnya ke dalam suasana yang lebih terbuka. Rakyat mendapatkan
kedudukan yang sama di hadapan hukum. Kebebasan rakyat untuk menyatakan
pendapatnya tidak dibatasi oleh pemerintah. Namun, semakin diberikan kebebasan
untuk menyatakan pendapat di hadapan publik, banyak pribadi yang aktif dalam perpolitikan
tidak lagi mengenal dan memahami nilai-nilai ideal yang terkandung dalam sistem
politik.
Banyak
pribadi mengungkapkan pendapat yang tidak sesuai dengan kebenaran. Mereka
membuat suatu narasi dan memaparkan data hasil rekaan. Semua data dan narasi
tidak berdasarkan situasi yang terjadi secara nyata. Tindakkan seperti ini
mengambarkan bahwa kualitas kita sangat rendah. Tetapi tindakkan seperti ini
sering terjadi di tanah air.
Pada
dasarnya, politik berarti sebuah strategi atau siasat. Strategi yang dimaksudkan
adalah sebuah jalan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Jalan itu tidak
mengesampingkan kebenaran. Dengan demikian, sejatinya politik in se (dalam dirinya) memiliki maksud
yang luhur. Di samping itu Politik sebagai suatu siasat disandingkan dengan etika.
Maksudnya, politik dijalani seiring dengan nilai-nilai etis. Bahkan, etiket
juga mesti dijunjung tinggi dalam berpolitik. Dalam hal ini, kesantunan
mendapatkan tempatnya dalam perpolitikan.
Akan
tetapi, situasi akhir-akhir ini amat merisaukan. Politik dijalani dengan siasat
yang jauh dari tindakan etis. Ujaran kebencian, keberingasan dan kegeraman
dalam berpendapat menunjukkan hal yang dimaksud. Terlebih, membenarkan ketidak-benaran
seolah menjadi hal yang lumrah. Itulah salah satu hal penyebab kebisingan
politik di tanah air.
Misalkan
di tengah situasi pendemi sekarang, kita bukannya bersatu bersama pemerintah, tetapi
masih banyak pribadi yang dengan aktif mengacungkan kritik yang pedas terhadap
kinerja pemerintah. Mereka menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah
dalam menangani wabah Covid-19. Pemerintah dinilai menutup-nutupi data, lamban
dalam pencegahan Covid-19 dan tidak bertanggung jawab terhadap kemerosotan
ekonomi rakyat.
Politik
yang bertujuan membentuk dan menumbuhkan kecerdasan serta kesadaran untuk
mencapai kebenaran justru tidak memiliki tempatnya. Banyak orang mengklaim diri
sebagai orang yang benar di hadapan publik. Mereka mempengaruhi publik dengan merangkai
kata-kata yang terkesan indah dan menarik simpati. Mereka berbicara dengan
menampilkan data rekaan dan narasi yang tidak sesuai fakta. Data-data dan
narasi yang dipaparkan selalu berdasarkan versi pribadi, lalu diklaim benar.
Aristoteles
mengatakan bahwa kebenaran berarti selaras dengan apa adanya, peristiwa dan
realitasnya. Kebenaran itu selalu dibicarakan dari sesuatu yang realitas. Jika
tidak sesuai realitas, itu sebuah ketidak-benaran. Ini merupakan pendapat yang
sudah tidak asing lagi di telinga semua orang. Sesuatu yang tidak sesuai
realitas harus dihindari, yang benar harus dilakukan dan diusahakan di tanah
air.
Yang
benar adalah itu yang mampu mendidik bangsa untuk tidak menciptakan kebisingan
dalam berpolitik. Sehingga dahulu Plato selalu mengatakan kepada murid-muridnya
untuk selalu menggenggam kebenaran. Baginya, dalam cara yang benar, kita tidak
akan menemukan kesulitan dan semuanya tidak lagi tampak aneh. Maka, perlu ada
verifikasi terhadap setiap data dan narasi yang ingin dipaparkan ke publik.
Di
sini, negara perlu membongkar perilaku gelap dari setiap kelompok yang berusaha
membenarkan ketidak-benaran, dan memberikan hukuman yang tegas bagi pelaku
rekaan (hoax). Ketegasan itulah yang
mengembalikan politik kepada strategi yang benar dan etis sesuai jati dirinya.

0 comments:
Posting Komentar