Gambar: Pemberkatan Keluarga Muslim oleh Imam Baru Katolik
Perbedaan
dengan yang lain menjadi masalah yang sulit dibendung dalam bangsa Indonesia.
Banyak orang tertentu tidak menerima perbedaan itu sebagai keniscayaan yang
lahir dalam bangsa. Mereka melihat perbedaan sebagai ancaman terhadap
kelompoknya, khusus dalam perbedaan agama. Semua perbedaan ditentang dan tidak
memberi ruang dalam kehidupan masyarakat. Meskipun secara fakta bahwa
masyarakat Indonesia bertumbuh dan berkembang dengan khas dan keunikan agamanya
masing-masing. Kekhasan dan keunikan agama dalam masyarakat dan kebudayaan
tidak dilihat sebagai kekayaan bangsa oleh kelompok tentu, melainkan sebagai
ancaman.
Perbedaan
agama mestinya dilihat sebagai berkat karena menghadirkan lukisan masyarakat
yang indah dalam rangkaian Bhineka Tunggal Ika. Menerima perbedaan juga menjadi
kebanggaan tersendiri sebab bangsa menentang otonomi yang egoistis untuk tumbuh
dalam masyarakat. Akan tetapi, perbedaan justru menjadi musibah dan menambah
pekerjaan rumah bagi bangsa. Perbedaan agama justru menjadi penghalang dalam
penegakan serta pelaksanaan hukum yang luas dan merata. Kelompok agama tertentu
ingin selalu mereka yang diperhatikan dan diabaikan kelompok agama lain.
Sikap
arogan dari mayoritas terhadap minoritas seringkali memunculkan penyimpangan
dalam hidup keagamaan. Mayoritas memonopoli kedudukan jabatan dalam masyarakat,
dalam bidang ekonomi, politik dan pendidikan. Arogansi berkembang sangat pesat
setelah pasca-kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purna atau sering
disapa Ahok. Hasil survei yang bertajuk “Tren Persepsi Publik tentang
Demokrasi, Korupsi dan Intoleransi, mencatat mayoritas warga muslin keberatan
untuk memberikan jabatan kepemimpinan terhadap nonmuslim atau minoritas.
Arogansi
mayoritas bisa menjadi ancaman yang serius bagi keutuhan kehidupan masyarakat.
Bahkan arogansi itu bisa merusak tatanan kehidupan sosial-budaya yang sudah
lama berakar dalam kehidupan masyarakat. Misalkan, gugatan terkait izin
mendirikan bangunan (IMB) renovasi Gereja Katolik, Paroki St. Yoseph Karimun,
Kepulauan Riau. Kasus gugatan renovasi Gereja menjadi contoh adanya arogansi
dari mayoritas yang menekan minoritas untuk tidak berkembang dalam kehidupan
agama.
Munculnya
prilaku arogan dalam masyarakat bisa meningkat responden intoleransi setiap
tahun di Indonesia. Dengan itu perlu adanya pengelolaan yang cukup serius dan
sungguh-sungguh dalam menata tatanan nilai toleransi dalam kehidupan.
Masyarakat diajak untuk kembali pada kesadaran ideologi utama bangsa yakni kesadaran
moral Pancasila dan nilai-nilai Kebhinekaan. Sebab dalam kesadaran terhadap
ideologi bangsa, masyarakat bisa saling menghormati dan saling menghargai
perbedaan agama.
Mengembalikan kesadaran masyarakat
intoleran kepada ideologi bangsa bukan menjadi upaya yang mudah, tetapi bukan
berarti sama sekali tidak mungkin. Semuanya menjadi mungkin tergantung
kesadaran dari setiap individu. Setiap individu yang rasional mempunyai peran
besar dalam menekan jumlah angka intoleransi dalam bangsa. Mereka ibaratkan
nahkoda yang memegang komando tertinggi terhadap seluruh isi kapal. Sehingga, sikap
arogansi dari mayoritas terhadap minoritas bukan menjadi ukuran untuk menghapus
agama dari bangsa Indonesia. Kekacauan dalam agama tidak juga menjadi ukuran
untuk menilai pesimis terhadap kehadiran agama.
Agama sebagai Good Life
Agar
setiap individu bertumbuh menjadi pribadi rasional dan toleransi dalam
memandang perbedaan agama. Kita mestinya berpaling pada pemikiran dari Jurgen
Habermas, sebagai seorang sosiolog dan filsuf, asal Jerman. Ia melihat fungsi
agama sebagai suatu yang integral dalam kehidupan masyarakat. Dia secara
optimis mengatakan bahwa nilai agama bisa mengembangkan kehidupan masyarakat. Gagasan
yang disumbangkannya adalah melihat dan menilai agama sebagai Good Life.
Habermas
menyadari bahwa agama bisa memberikan nilai-nilai moral yang patut
diperhitungkan dalam masyarakat dan bahkan oleh liberalisme. Seperti pada
tanggal 20 Oktober 2020, Paus Fransiskus mengundang para pemuka agama dan
kepercayaan lain untuk bersama-sama mendaraskan doa tentang perdamaian sesama
manusia. Paus Fransiskus mengeluarkan Documen “On Human Fraternity for World Peace and Living Together” (Dokumen
Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama), yang telah
ditandatanganinya bersama Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb, pada tahun 2019. Ini merupakan salah satu tindakan untuk
memperjuangkan kerukunan dalam hidup beragama.
Oleh
karena itu, Habermas mengatakan bahwa agama tidak bisa disingkirkan dari
masyarakat. Agama sebagai satu-satunya (monopoli) yang mampu menunjukkan fungsi
integratif sebagai pandangan dunia menyeluruh. Artinya bukan hanya sekulasisasi
yang bisa mengembangkan kehidupan masyarakat, agama juga mempunyai kekuatan
yang turut menentukan kehidupan masyarakat. Ia secara optimis mengatakan bahwa
orang yang menghayati agama akan memperoleh hidup yang baik (Good Life). Setiap ajaran agama
mengandung nilai kebenaran yang melahirkan masyarakat yang bijaksana dalam
negara.
Agama
sebagai bagian dari Goog Life harus
diatasi dengan mengutamakan problem persatuan dalam hidup bersama agar perbedaan
tidak dicederai. Mengapa? Sebab negara selalu identik dengan perbedaan atau kemajemukan.
Negara itu tidak hanya terdiri dari satu agama, tetapi bermacam-macam agama.
Negara Indonesia saja terdiri dari enam agama resmi seperti Islam, Protestan,
Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Perbedaan atau kemajemukan agama justru
memperkaya nilai religius dalam negara Indonesia. Dengan itu, Habermas menilai
agama sebagai Good Life tidak boleh
diabaikan begitu saja asalkan tidak membawa keyakinan pribadi menjadi yang
paling benar di antara agama lain. Nilai yang paling benar hanya ditunjukkan
lewat sikap dan perbuatan yang didapat oleh masyarakat umum secara rasional.
Kebenaran hanya berdasarkan pemikiran individu, kelompok dan golongan tentu bukan
lahir dari nilai agama sebagai Good Life.
Kesadaran Masyarakat Indonesia
Melalui
pemikiran Habermas jelas bahwa latar belakang terjadinya sikap arogan terhadap
perbedaan bukan lagi hanya menyangkut tentang pengertian, pemahaman,
pengetahuan atau sikap keagamaan yang dimiliki masyarakat tertentu melainkan
sentimen keagamaan yang muncul dari rasio yang keliru. Bagaimana cara
memurnikan rasio yang keliru agar sikap arogan lumpuh dari Indonesia? Ini
menjadi pekerjaan yang besar dari tokoh agama dan pemerintah dalam meningkatkan
kualitas cara berpikir masyarakat terhadap perbedaan agama.
Sejauh
ini saya melihat bahwa kesadaran akan peran dan fungsi agama yang hakiki dalam
masyarakat sudah tumbuh dalam pribadi tokoh agama dan pemerintah. Seperti
negara mulai memberlakukan atau memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum
nasional. Pelajaran agama merupakan salah satu pelajaran wajib yang harus ada
dan diterima oleh semua siswa. Dengan tujuan setiap anak bisa memahami
nilai-nilai baik yang ada dalam agamanya masing-masing. Hal ini telah diatur
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pasal 12, ayat (1)
huruf a, mengamanatkan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama. Dengan harapan bahwa kesadaran rasional dengan
cara memandang agama sebagai Good Life
tumbuh dalam masyarakat. Pendidikan agama di sekolah yang benar mampu menghindari
sikap arogan terhadap perbedaan keyakinan.
Masuknya agama dalam kurikulum nasional tentu dengan tujuan setiap orang mendalami agamanya secara rasional. Orang bisa mengenal perannya dalam agama dan mengetahui tujuan hakiki dari ajaran agama. Dengan mengenal ajaran agama dengan baik, peserta didik mampu menjadi jembatan komunikatif dan relasional antara Tuhan dengan manusia dan manusia dengan sesama. Sebab sikap orang yang tidak mengenal peran dan tujuan agama bisa merusak fungsi komunikatif dan relasional dalam agama itu sendiri.
Agama
juga perlu memiliki sifat kritis terhadap proses dogmatisasi yang terjadi dalam
dirinya. Dogmatisasi dikembalikan pada hakikatnya yang sejati, yaitu sebagai
upaya untuk menetapkan kebenaran sejati. Ini menjadi catatan penting bagi tokoh
agama sebelum mengajarkan iman kepada umatnya. Dia harus menyakini dengan
berbagai pertimbangan yang rasional terhadap ajarannya sebagai kebenaran umum.
Kebenaran umum dalam arti bahwa ajarannya bisa diterima oleh masyarakat umum.
Sebab dengan menetapkan kebenaran, penghayatan agama mampu mencapai kepercayaan
yang pasti dan kokoh dalam membanggun Good
Life bagi negara. Kebenaran sejati itu lahir dari pemikiran rasional yang
terbuka pada proses reflektif, evaluatif, dan korektif terhadap setiap ajaran.


Mantap andi
BalasHapus