Kelender
Liturgi Gereja Katolik menetapkan satu pekan dalam setiap tahun sebagai minggu
panggilan sedunia. Pada minggu panggilan, Gereja memberikan kesempatan kepada
kaum religius untuk melakukan aksi panggilan di tengah seluruh umat. Kaum
religius diberikan tempat untuk memperkenalkan cara hidup dan karya menurut
tuntutan konstitusi setiap keuskupan, ordo dan serikat atau kongregasi.
Untuk
menanggapi hal itu, seminari tinggi SVD (Societas Verbi Devini) Surya
Wacana-Malang mengadakan aksi panggilan secara virtual/online. Seminari SVD
mengundang orang muda katolik (OMK) dari berbagai paroki yang dilayani
imam-imam SVD Jawa untuk hadir dalam kegiatan ini. Salah satu imam alumnus
Surya Wacana yang menjadi misionari di Afrika diundang untuk memberikan sharing
misi.
Kegiatan
aksi panggilan virtual dibuka dengan kata sambutan dari Rm. Raymundus I Made
Sudhiarsa, sebagai rektor rumah seminari tinggi SVD Surya Wacana. Rm. Ray dalam
sambutannya menegaskan bahwa SVD memberikan pendidikan kepada anak-anak muda
untuk memiliki mental dalam melayani Gereja. Ia memberikan contoh imam-imam
muda di Papua yang dengan gembira melayani umat meskipun secara geografis,
budaya dan pendekatan terhadap umat sangat sulit.
Menjadi
misionaris bukan membawa mental pribadi untuk dibaca orang lain. Misionaris
harus menjadi orang yang siap untuk belajar budaya yang baru. Misionaris perlu
memiliki prinsip demikian, “kirim dahulu kopermu, baru kemudian badanmu”, kata
Rm. Ray.
![]() |
| Rm. Lintang bersama umat Mozambik |
Rm.
Agustinus Lintang, SVD sebagai imam misionaris di Mozambik, Afrika Tenggara
melakukan sharing misi dengan judul “Dari Perkotaan Turun ke Sebuah Pohon”.
Beliau mengambil judul tersebut berangkat dari latar belakangnya dari kota
Surabaya yang bermisi ke kampung.
Rm.
Lintang mengawali sharing misi dengan menceritakan sejarah panggilan hingga
menjadi misionaris di Mozambik. Beliau mengatakan bahwa sejak kecil, dirinya
sangat terlibat dalam kegiatan Gereja, seperti misdinar. Dia juga sering
mendengarkan sharing misi dari para imam misionaris SVD di paroki Santo
Paulus-Juanda Sidoarjo- Keuskupan Surabaya.
Beliau
sangat kuat menjadi misionaris karena dipengaruhi oleh film The Mission,
Black Panther, novel Silence (Shusaku Endo), dan Majalah National
Geographic. Dari situlah Rm. Lintang ingin menjadi misionaris bagi
masyarakat Wakanda dan ingin bekerja sama dengan rekan-rekan imam yang tidak
sebahasa dan sebudaya.
Rm.
Lintang juga menceritakan kesulitan-kesulitan pertama yang dihadapinya di
tempat misi. Pertama, bahasa asing. Beliau harus menguasai bahasa
portugis dan bahasa daerah. Bahasa portugis sebagai bahasa nasional Afrika
Tenggara hanya untuk orang di kota dan bahasa daerah untuk berbicara dengan
orang di kampung. Menurutnya, belajar bahasa daerah sangat sulit karena belajar
autodidak dan gramatika yang rumit. Kedua, adaptasi makanan. Makanan
utama orang Mozambik adalah sima (bubur jagung yang digiling) dan tidak ada
nasi dan tempe. Ketiga, wabah malaria. Rm. Lintang sering terkena
penyakit malaria yang membuat berat badan turun, tidur tidak nyaman, dan badan
terasa pegal. Empat, liturgi yang sangat ekspresif. Bagi orang Mozambik,
misa itu sukacita.
Rm.
Lintang juga memberikan gambaran umum tentang masyarakat di Mozambik, tempat
pelayanan sebagai imam. Populasi penduduk Mozamabik 31, 26 juta (2020) dengan
populasi umat katolik terbesar, yakni 31 persen dari jumlah agama-agama
lainnya. Akan tetapi, kehadiran umat katolik sebagai mayoritas tidak menjamin
sebagai pembawa kesejahteraan bagi penduduk Mozambik. Gereja perlu menyelsaikan
berbagai persoalan, seperti angka buta huruf yang tinggi, seks bebas (banyak
penduduk yang kena HIV), gizi buruk, dan penduduk Mozambik masih trauma dengan
perang saudara tahun 1976-1992.
.png)
.png)

0 comments:
Posting Komentar