Banyak
orang tidak memahami arti kebenaran dalam konteks zaman
sekarang. Kebenaran dan kepalsuan seringkali diberikan penilaian yang sama. Kita
tidak pernah bersikap kritis untuk membedakan antara yang kurang benar dengan
yang benar. Bahkan orang yang mengklaim dirinya sebagai ukuran kebenaran dapat
kita percaya tanpa mempertimbangkan dengan sikap kritis. Kita seringkali
terjebak dan menjadi korban dari kepalsuan yang diciptakan oleh oranglain.
Kebenaran
agama seringkali diklaim sebagai milik orang beragama dan tidak percaya
bahwa itu rahmat Tuhan. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa kita sepertinya
belum masuk pada zaman percerahan dan masih hidup pada abad pertengahan. Tokoh
agama mendokmatisasi setiap ajaran
sebagai ukuran kebenaran dan pengikut wajib mengikutinya. Kebenaran
yang diajarkan tokoh agama cenderung bersifat monologal dan bahkan hal bisa dipahami sebagai absolutis dan totaliter.
Kita
dapat menyaksikan fenomeman kehidupan yang terjadi antara umat beragama
sekarang. Justru dalam kehidupan agama tumbuh sikap intoleransi dan saling
menjadi hakim serta saling mengutuk atas keyakinan orang lain. Semua itu
terjadi pada orang beragama karena ajaran agama mendokmatisasi ajaranya sebagai
ukuran kebenaran dan di luar agamanya salah. Sepertinya kebenaran hanya milik
agama tertentu saja dan tidak menyerahkan penilaian kebenaran agama ke tangan
Tuhan.
Kita
tidak menjadi heran jika banyak orang sekarang menggunakan agama sebagai kedok
kepalsuan, menggunakannya sebagai senjata politik, menggunakannya sebagai
bisnis dan yang palig bangsat menggunakannya sebagai pemecah belah kehidupan
masyarakat. Sebab agama mempunyai kekuatan kebenaran monologal yang tidak dapat
dikritisi dan dibantah oleh oranglain. Agama sudah menaruh slogan terhadap
umatnya bahwa ketidakpatuhan terhadap ajaran agama berarti ketidakpatuhan pada
kehendak Tuhan.
Habermas mengusulkan teori diskursus untuk
membuka cakrawala pikiran kita tentang arti kebenaran. Teori dikursus yang
dimaksud ialah pemutusan suatu kebenaran lewat kesepakatan dalam diskusi dan
diskusi itu melibatkan antarsubjek (antara manusia). Subjek yang terlibat dalam
diskursus bukan hanya dua orang tetapi melibatkan banyak orang.
Dari teori diskursus, kita dapat melihat bahwa
bagi Habermas kebenaran tidak lagi dijamin oleh agama atau pandangan-pandangan
metafisis, melainkan harus dikembalikan pada proses komunikasi sosial untuk
mencapai saling pengertian. Kebenaran selalu ditemukan lewat komunikasi yang
melibatkan banyak subyek. Kebenaran dari satu subjek bukan lagi sebagai nilai
objektif yang harus diikuti oleh orang lain. Teori diskursus menekankan bahwa
kebenaran-kebenaran yang diklaim oleh berbagai subjek harus diuji secara
diskursif untuk memperoleh keputusan dan pengakuan akan kebenaran di publik.
Habermas
mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang diakui secara universal sekarang selalu
dipikirkan oleh subjek atau individu tertentu awalnya. Namun selama kebenaran
itu masih tinggal tetap pada individu, kebenaran itu belum bisa dijadikan
sebagai kebenaran yang berlaku untuk oranglain. Kebenaran yang awalnya dipikirkan
oleh individu tertentu harus diuji melalui diskursus dengan orang-orang lain. Dalam
diskursus bersama oranglain akan dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai
kebenaran. Apabila diterima secara rasional oleh umum akan dijadikan sebagai
kebenaran yang belaku secara universal.
Habermas
hadir untuk membuka pemikiran kita untuk tidak dengan mudah menerima segala
sesuatu sebagai kebenaran. Kebenaran selalu diukur berdasarkan kesepakatan
bersama lewat komunikasi yang melibatkan banyak subyek. Dalam komunikasi itu,
setiap subyek mewajibkan untuk membuka diri dalam memberikan atau menerima
pendapat terhadap oranglain. Sebab dalam memberi atau menerima pendapat dalam diskursus
menjadi unsur pokok dalam mencapai suatu kesepakatan untuk dijalankan bersama.
Tapi saling memberi dan menerima dalam diskursus harus lahir dari cara berada
subyek yang inheren dengan
personalitasnya sebagai subyek yang terbuka bagi yang lain.
Bangsa
Indonesia sebenarnya tidak muncul berbagai persoalan dalam agama apabila orang
menerima diskursus sebagai penyelsaian konflik. Diskursus seringkali diabaikan
dan justru pendapat monologal itu yang mudah diterima oleh banyak orang.
Pendapat monologal itu mudah diterima banyak orang karena disampaikan oleh
tokoh yang mempunyai status terpandang. Orang lebih melihat statusnya daripada
mencerna dan mengkritisi isi pengajarannya. Seperti tokoh agama yang terlibat
dalam politik yang busuk. Mereka mengajak umatnya untuk memilih pemimpin yang
seiman dan mempunyai misi yang sama dengan mereka. Orang diluar kelompoknya
selalu dinilai salah dan tidak bisa membawa perubahan untuk bangsa ini. Bahkan
NKRI dan Pancasila pun dirongrong oleh tokoh gerakan transnasional yang
membahayakan kesatuan bangsa, namun tetap dipercaya oleh umatnya hanya karena
seiman.
Budaya
diskursus hendaknya dihidupkan kembali oleh anak-anak bangsa ini. Lewat diskursus,
kita mampu membentuk keputusan-keputusan bersama yang benar dalam membangun
bangsa. Ir. Soekarna juga dulu dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia
lewat dialog dengan berbagai tokoh rasional tertentu dalam masyarakat. Ia
berdialog dengan tokoh filsafat, politik, budaya, ekonomi, agama dan bahkan
berdialog dengan pemimpin di luar negeri. Hasil dialognya yang rasional dengan
beberapa tokoh tersebut menghantar bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan.


Mantap Andi. Terus berkarya
BalasHapusTerima kasih ya, ini inspirasi dari kamu😂
BalasHapusMantap om Andi
BalasHapusMntap fr
BalasHapus